Makna Priyayi di Indonesia dalam novel para Priyayi karya Umar Kayam
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna konsep priyayi dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Pada masa kolonial hingga awal pascakolonial, di Indonesia, Jawa khususnya, priyayi adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai status sosial tinggi atau di atas masyarakat kebanyakan. Ke...
Saved in:
Main Author: | |
---|---|
Format: | Article |
Language: | English |
Published: |
Institute of the Malay World and Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia
2018
|
Online Access: | http://journalarticle.ukm.my/12455/1/jatma-2018-0601-05.pdf http://journalarticle.ukm.my/12455/ http://www.ukm.my/jatma/jilid-6-bil-1/ |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Summary: | Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna konsep priyayi dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.
Pada masa kolonial hingga awal pascakolonial, di Indonesia, Jawa khususnya, priyayi adalah sekelompok masyarakat
yang mempunyai status sosial tinggi atau di atas masyarakat kebanyakan. Kelompok priyayi selalu memperhatikan
prinsip gaya hidup seperti kehalusan, kesopanan, elegan, serta memiliki tradisi dan simbol-simbol kepriyayian. Bentuk
rumah, tata ruang, cara berpakaian, dan cara berbicara adalah bentuk fisik gaya hidup priyayi. Namun, dalam novel
Para Priyayi gaya hidup seperti tersebut di atas bukan menjadi tujuan utama. Tujuan utama kehidupan priyayi adalah
pengabdian kepada keluarga besar dan kepada masyarakat dengan cara mikul nduwur mendhem jero, artinya menjaga
nama baik keluarga dan masyarakat. Teori yang digunakan adalah teori semiotik yang dikembangkan oleh Ferdinand
de Saussure. Ada empat unsur pokok yang menjadi prinsip utama teori semiotik Saussure, yaitu penanda atau bentuk
(signifier) petanda atau konsep (signified), hubungan keduanya membentuk makna (significance), dan bertujuan untuk
menyampaikan maksud (reference). Hasil penelitian, makna priyayi dalam novel Para Priyayi adalah seseorang yang
mempunyai jiwa pengabdian, keikhlasan, bekerja keras, dan dapat berbuat mikul nduwur mendhem jero, menjaga
nama baik terhadap siapa saja. Priyayi tidak harus berasal dari kalangan bangsawan, tetapi juga berasal dari wong
cilik, misalnya kaum petani yang berhasil mencapai derjat intelektual sebagai pegawai negeri, guru, dan dosen yang
mengajar di perguruan tinggi. |
---|